Pernah dengar istilah pelonggaran kuantitatif alias quantitative easing (QE)? Kalau belum, mari kita berkenalan dengan salah satu jurus sakti mandraguna bank sentral ketika ekonomi mulai megap-megap. Bayangkan ada orang sekarat, lalu dokter menyuntikkan cairan entah apa ke pembuluh darahnya supaya tetap hidup – nah, kurang lebih seperti itu lah cara kerja QE.
QE adalah kebijakan moneter tidak konvensional – alias jurus darurat – yang digunakan bank sentral ketika semua cara standar seperti menurunkan suku bunga sudah mentok dan ekonomi masih ogah bangkit. Caranya? Cetak duit digital dalam jumlah gila-gilaan, lalu belanja obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya biar sistem keuangan basah kuyup dengan likuiditas.
Ah, pertanyaan klasik. Kalau mencetak uang semudah tekan Ctrl+P, kenapa negara tetap miskin? Jawabannya: karena QE bukan sekadar mencetak uang. Ini tentang menyuntikkan uang ke sistem keuangan melalui mekanisme yang (katanya) terkontrol. Bank sentral seperti The Fed, ECB, atau BOJ tidak asal-asalan cetak uang lalu bagikan ke rakyat (itu namanya helicopter money). Mereka membeli obligasi jangka panjang supaya bunga turun, kredit murah, dan orang-orang tergoda untuk konsumsi atau investasi.
Dampaknya? Langsung terasa. Harga saham naik, obligasi melejit, nilai tukar jeblok (tapi itu disengaja), dan investor mendadak euforia. Ekonomi yang tadinya lemas jadi agak segar, setidaknya di permukaan. Tapi jangan senang dulu. Ini kayak doping dalam olahraga – efeknya cepat, tapi risiko jangka panjangnya? Sangat nyata.
Masalah utama dari QE adalah efek sampingnya. Seperti obat kimia yang menyembuhkan satu organ tapi merusak yang lain. Likuiditas berlimpah bisa memicu bubble aset – harga properti, saham, bahkan kripto, naik bukan karena fundamental, tapi karena banjir duit murah. Dan begitu bubble itu meletus? Silakan sambut krisis baru dengan tangan terbuka.
Pasar jadi manja. Tiap ada gejala panik, mereka langsung berharap “Papa Fed” atau “Mama ECB” akan turun tangan. Ini menciptakan moral hazard: investor tahu ada penolong, jadi makin berani ambil risiko. Ekonomi pun jadi semacam bayi yang enggak bisa lepas dari dot.
Masalah berikutnya? Keluar dari QE ibarat kecanduan narkoba: sekali masuk, susah berhenti. Begitu bank sentral bilang mau tapering (mengurangi pembelian aset), pasar langsung tantrum. Lihat saja yang terjadi waktu taper tantrum 2013 – gejolak di mana-mana, dari Wall Street sampai negara berkembang.
Di Indonesia, Bank Indonesia juga sempat menggunakan pendekatan mirip QE saat pandemi. Bedanya, skalanya jauh lebih kecil dan lebih hati-hati. Tapi tetap saja, efeknya terasa: suku bunga rendah, kredit agak longgar, dan likuiditas bank cukup melimpah. Untungnya kita enggak ikut-ikutan 'balapan cetak uang' kayak negara maju.
Pelonggaran kuantitatif memang bisa menyelamatkan ekonomi dari jurang resesi. Tapi harus diingat: ini bukan solusi jangka panjang. QE hanya beli waktu – seperti plester untuk luka dalam. Kalau akarnya (struktur ekonomi lemah, produktivitas rendah, utang tinggi) enggak diobati, ya ujung-ujungnya sama saja: ekonomi akan kembali goyah begitu efek QE hilang.
Jadi, masih mau anggap QE itu penyelamat mutlak? Think again.
Yuk, follow akun sosial media INVEZTO sekarang juga! Dapatkan insight sarkas tapi cerdas setiap minggu, biar kamu gak cuma jadi penonton di pasar, tapi juga pemain cerdas di dalamnya.
💥 SIGNAL XAU/USD – 7 AGUSTUS 2025Em...
Cara Cerdas Menggu...
Cara Swing Trade Sambi...
3 Tips Unik Biar G...