Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya angkat bicara mengenai kemungkinan terjadinya resesi di negaranya pada tahun ini. Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan pada Minggu waktu setempat, Trump mengungkapkan pendapatnya saat berbicara dengan Fox News.
"Saya tidak suka membuat prediksi semacam itu," ujarnya ketika ditanya secara langsung tentang potensi resesi di tahun 2025.
Ia menambahkan bahwa saat ini AS sedang berada dalam masa transisi akibat kebijakan besar yang diterapkan pemerintahannya. “Kami mengembalikan kekayaan ke Amerika,” tambahnya.
Kekhawatiran mengenai resesi ini muncul setelah Trump mengancam akan memberlakukan tarif baru terhadap beberapa negara, termasuk Kanada, Meksiko, dan China. Hal ini memicu volatilitas di pasar keuangan AS dan meningkatkan ketidakpastian di kalangan konsumen mengenai kondisi ekonomi ke depan.
Bursa saham AS mengalami penurunan signifikan pekan lalu, dengan S&P 500 turun 3,1%, Nasdaq Composite merosot 3,5%, dan Dow Jones Industrial Average kehilangan 2,4%. Selain itu, kepercayaan konsumen juga menurun, karena inflasi yang telah berlangsung lama ditambah dengan kekhawatiran akan kenaikan harga akibat tarif impor.
Situasi ini diperburuk dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, seiring langkah efisiensi yang dilakukan oleh Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang kini dipimpin oleh miliarder Elon Musk.
Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, turut menegaskan bahwa tidak ada indikasi kuat akan terjadi resesi. "Sama sekali tidak," katanya dalam program "Meet the Press" di NBC.
Prediksi dari Federal Reserve Atlanta menunjukkan adanya kemungkinan kontraksi sebesar 2,4% dalam pertumbuhan PDB riil AS pada kuartal pertama tahun ini. Jika perkiraan tersebut akurat, maka ini akan menjadi kinerja ekonomi terburuk sejak puncak pandemi Covid-19.
Ketidakpastian kebijakan Trump, terutama terkait sektor dan waktu pemberlakuan tarif, membuat dunia usaha kesulitan merencanakan langkah strategis. Sementara itu, investor masih mencoba memahami dampaknya terhadap pasar.
Penasihat ekonomi utama Trump, Kevin Hassett, menjelaskan bahwa kebijakan tarif dapat bersifat sementara maupun permanen, tergantung pada respons negara-negara yang menjadi targetnya. "Jika mereka tidak merespons dengan baik... maka tarif ini bisa menjadi bagian dari keseimbangan baru yang berkelanjutan," ungkapnya.
Dalam pidato kenegaraan pada Selasa lalu, Trump telah meminta warga AS untuk bersiap menghadapi "sedikit gangguan" akibat kebijakan tarifnya, namun ia menegaskan bahwa "kita akan baik-baik saja" dan "dampaknya tidak akan besar."
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, juga mengingatkan bahwa ekonomi AS akan memasuki "periode detoksifikasi."
Ketidakpastian ekonomi saat ini membuat para ekonom lebih berhati-hati. Beberapa lembaga keuangan bahkan mulai menaikkan estimasi risiko resesi.
Para ekonom di Goldman Sachs, misalnya, meningkatkan probabilitas resesi dalam 12 bulan ke depan dari 15% menjadi 20% akibat kebijakan Trump. Sementara itu, Morgan Stanley memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan lebih lambat dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Secara umum, resesi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut atau lebih dalam satu tahun. AS sendiri terakhir kali mengalami resesi pada awal 2020 akibat pandemi Covid-19, yang menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan.
✅ Dapatkan Update Signal Forex dan Insight Eksklusif di Channel Invezto:
WhatsApp Channel:
https://invezto.com/wa-channel
Atau
Telegram Channel:
Tetap konsisten, terus belajar, dan semoga sukses di perjalanan tradingmu!
Analisis Teknikal XAU/USD: Emas Berpoten...
Potensi resesi di Amerika Serikat (AS) s...
Analisis Teknikal USD/JPY: Tekanan Beari...
Lonjakan Impor Emas AS Picu Kekhawatiran...